<< Belajar membuat blogSalamat Datang Di Blog Saya >>

Rabu, 10 Januari 2018

TAHAPAN DALAM SURVEY TOPOGRAFI

1. Orientasi Line
 
Setelah pihak client menentukan lintasan yang dikehendaki, Department Topografi akan mengeluarkan koordinat teoritik (X,Y), kemudian dilanjutkan dengan pengecekan batas-batas wilayah survey, posisi-posisi lintasan dan akses jalan menuju lintasan tersebut.


 

















2. Jejaring GPS 
Setelah diketahui posisi lintasan kemudian dilanjutkan dengan pembuatan jejaring BM (Bench Mark) GPS (Global Positioning System). Pembuatan jejaring BM GPS ini dimaksudkan untuk memperoleh tingkat keakuratan posisi yang baik.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNEWcnJm3-iulfD-Eglks_Bi82jtuOeFjB4-eVqPYwwlCyN2VK0zkluKp6caVm-vPUVyAUyx1e-l22qKfmqSwUxUIKQ76qngqtNC_34yominPMoMVXxlo6-S4PxwY7nv4of4ptFXb_roIh/s1600/jar.jpg
Jaring GPS
           
3. Pengamatan GPS
Pengamatan GPS ini dilakukan setelah BM GPS dipasang sesuai dengan jejaring GPS yang telah dibuat.Pengamatan GPS ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan ketelitian posisi yang akurat untuk setiap titik BM GPS

4. Pengolahan data GPS

Setelah proses pengamatan dan pengolahan data GPS, departemen topo akan memperoleh nilai koordinat posisi tiap-tiap BM GPS.


5. Membuka Lintasan
Pembukaan lintasan seismik dimulai dari titik BM GPS atau titik polygon terdekat yang telah memiliki koordinat yang telah pasti (fix).
Pengukuran lintasan menggunakan Receiver point maupun shoot point ditandai dengan menggunakan patok, adapun ketentuan warna dan penomeran disesuaikan dengan kesepakatan. Umumnya ada perbedaan antara patok receiver point dengan shoot point.Pada survey 2D shoot point genap juga diberi tanda patok dengan tujuan memudahkan unit drilling apabila harus melakukan kompensasi bila pada saat kondisi normal tak terpenuhi.
Sedangkan pada survey 3D dikenal SL (Shoot Line) dan RL (Receiver Line), shoot point berada pada lintasannya sendiri sehingga tidak ada pengecualian untuk dipasang tanda patok baik shoot point ganjil maupun genap.
 


Dari hasil survey topografi, selain diperoleh koordinat (X,Y,Z) posisi receiver point dan shoot point, diperoleh pula data pendukung lainnya yaitu peta dan sketch line.



PENGUKURAN TOPOGRAFI 

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan metode stake out, dengan menggunakan electronic total station (ETS). Metode ini menempatkan posisi titik-titik di lapangan berdasarkan data koordinat teoritis. Pengukuran terikat pada titik-titik kontrol, hal ini bertujuan untuk menjaga agar titik-titik tersebut tidak melenceng terlalu jauh dangan koordinat teoritisnya.

Pada pengukuran lintasan baru, penentuan titik dilakukan dengan menjadikan titik BM terdekat sebagai titik ikat. Pengukuran arah dan jarak patok didapat dari pembacaan pada ETS yang merupakan posisi dari stick prisma. Stick prisma ditempatkan pada posisi sesuai dengan koordinat teoritik. Selama pengukuran kita menggunakan tiga buah stick prisma, satu buah untuk back shoot, satu untuk fore shoot, dan satu untuk point shoot. Back shoot dan fore shoot dalam posisi diam sedangkan point shoot bergeser sesuai dengan titik-titik yang ingin diukur. Setelah itu posisi fore shoot dijadikan sebagai posisi ETS, atau biasa disebut dengan sentring paksa. Sedangkan posisi ETS sebelumnya dijadikan posisi back shoot.


Data yang diambil adalah berupa jarak miring, karena dari jarak miring kita bisa memperoleh ketinggian. Dilakukan pengukuran azimut matahari minimal sebanyak satu kali pada awal atau akhir pengukuran. Tujuan pengamatan azimut adalah untuk mengontrol koreksi pengukuran pada hari itu.


Stake out koordinat merupakan kegiatan utama di lapangan pada survei topografi. Pada pekerjaan ini digunakan alat Sokkia SET303R, di mana alat ini digunakan untuk menentukan titik-titik trace dan shoot point di lapangan yang datanya bersumber dari koordinat teoritik. Selain itu ditentukan juga elevasi dari MSL untuk titik-titik trace dan shoot point. Biasanya untuk membedakan antara trace dan shoot point digunakan patok yang berbeda. Untuk trace patok yang digunakan adalah berwarna biru sedangkan untuk sp patoknya berwarna merah.


Selanjutnya untuk start dan ending koordinat line sudah ditentukan oleh client, kemudian selanjutnya dapat ditentukan jumlah source dari koordinat yang diberikan oleh client. Biasanya untuk source pada 2D hanya ada pada SP ganjil. Akan tetapi apabila medan yang akan dilewati tidak memungkinkan diproduksi SP ganjil (seperti perkampungan, sungai, dan sebaginya) maka dibuat SP genap untuk kompensasi SP yang hilang, sehingga jarak antara SP normal dengan SP kompensasi menjadi 30 m. Secara geometrik perbedaan antara seismik 3D dan 2D terletak pada penempatan source dan trace. Untuk 2D source dan trace terletak pada satu line, sedangkan pada 3D source dan trace terletak pada line yang berbeda, di mana terdapat Source Line (SL) dan Receiver Line (RL).


Untuk optimalisasi pengukuran maka awal pengukuran (start line) tidak dilakukan di awal atau akhir line. Hal ini disebabkan belum tersedianya akses menuju awal atau akhir line. Untuk mengatasi hal tersebut maka ada beberapa cara yang dilakukan, di antaranya:


1. Pengukuran traverse. Pengukuran ini pada dasarnya adalah membuat suatu poligon terikat sempurna dari titik-titik GPS yang sudah diamati, di mana titik tersebut dijadikan kontrol. Penempatan titik-titik traverse ditempatkan sepresisi mungkin dengan perpotongan line, untuk memudahkan start line.


2. Translock koordinat. Pada prinsipnya proses ini sama dengan pengikatan ke muka pada poligon, di mana ditentukan 2 buah titik GPS yang sudah fix untuk dijadikan titik ikat dalam menentukan titik translock.


Sebelum melakukan pengukuran topografi, terlebih dahulu dilakukan koordinasi dengan departemen maupun sub pekerjaan yang lain, terutama yang waktu pekerjaannya berdekatan dengan pengukuran topografi, seperti rintis, bridging dan drilling.


Hal ini dilakukan supaya tidak terjadi “kejar-kejaran” waktu pekerjaan apalagi sampai terjadi overlap waktu pekerjaan. Setelah didiskusikan maka dibuat program dari pengukuran topografi, yang selanjutnya akan diikuti oleh rintis, bridging, drilling, dan recording. 

Departemen Topo juga melakukan pendampingan terhadap departemen yang lain seperti penjelasan akses lokasi, eksistensi patok-patok trace dan Sp, sampai terjadinya offset dan kompensasi.

Secara teknis sebelum melakukan pengukuran stake out, maka terlebih dahulu dilakukan pengukuran sunshot untuk medefinisikan azimuth awal dari titik start line. Selanjutnya dilakukan pengukuran stake out, di mana koordinat teoritik yang sudah ada dan dimasukkan pada memory alat dan “dipanggil” untuk menentukan koordinat trace dan shoot point di lapangan. Titik-titik trace dan shoot point ditentukan dari titik-titik ikat poligon yang sudah fix atau dengan kata lain titik-titik poligon ini adalah titik-titik kerangka dasar utama. Pada sesi akhir pengukuran dilakukan kembali sun shot sebagai kontrol azimuth akhir. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya distorsi dari line yang diukur.


Selanjutnya pada waktu pengukuran ketika terjadi perpotongan antar line (crossing) maka pengukuran diikatkan pada titik fix line tersebut. Hal ini dilakukan untuk memperoleh koordinat titik-titik ikat tersebut melalui proses perataan. Sedangkan pada proses stake out koordinat seismik 3D pengukuran dilakukan dari start line yang kemudian diikatkan dalam 1 blok, untuk mendapatkan koordinat titik-titik blok dari tiap loop. Blok-blok ini biasanya dipisahkan atas beberapa swath sesuai dengan banyaknya SL dan RL. Biasanya lebar blok ini disesuaikan dengan ketelitian jarak. Jadi, setiap ketelitian tutupan blok berbanding terbalik dengan jaraknya, di mana apabila jarak blok panjang maka koreksinya kecil, sedangkan apabila jarak blok pendek, maka koreksinya besar. Sebisa mungkin blok ini menutup pada tiap-tiap ujung SL dan RL supaya koordinat titik-titik blok yang dihasilkan lebih bagus.


Pada waktu pengukuran dilakukan juga penanaman BM seismik. BM ini dibuat untuk merekonstruksi titik-titik line yang dibutuhkan ataupun ketika ada program pengembangan survei. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam penentuan BM seismik ini adalah:


- Distribusi BM merata (mengcover) keseluruhan line.
- Akses jalan menuju BM.
- Melakukan pensosialisasian kepada masyarakat sekitar bahwasannya BM tersebut sangat penting dan tidak boleh diganggu, bahkan kalau perlu diberikan sanksi apabila ada yang mengganggu.


Hal lain yang tak kalah penting pula adalah dalam hal pemasangan. BM seismik dipasang berpasangan, baik itu dengan BM GPS maupun dengan sesama BM seismik sendiri. Hal ini dilakukan untuk pendefinisian datum apabila akan dilakukan rekonstruksi.




PENGOLAHAN DATA TOPOGRAFI 

 
Data hasil pengukuran di lapangan kemudian diproses lebih lanjut. Proses data tersebut menggunakan bantuan komputer. Data dari ETS diolah oleh software pemetaan Swift. Hasil perhitungan berupa data koordinat x, y, dan z. Setelah itu kita dapat memperoleh perbedaan antara data teoritik dengan pengukuran di lapangan.

Pemrosesan data ini dilakukan harian, kemudian dikumpulkan menjadi satu poligon yang terikat sempurna maupun tertutup (loop). Pemrosesan harian atau dengan kata lain pasca pengukuran dimaksudkan untuk mengecek hasil ukuran apakah mengalami distorsi atau tidak, dalam hal ini pemrosesan harian bersistem poligon lepas. Apabila mengalami distorsi sampai sejauh mana distorsi yang telah terjadi, apakah masuk toleransi atau tidak. Hal yang paling mendasar adalah pada seismik 3D yang dipertahankan adalah posisi Sp dan trace, di mana toleransi dari tiap titik adalah ± 5 m. Sedangkan pada seismik 2D yang dipertahankan adalah interval dari tiap Sp.


Sumber utama dari data topografi ini adalah hasil pengukuran stake out di lapangan (x,y) dan hasil pengukuran elevasi (z). Adapun data yang menunjang dari data ukuran utama ini adalah data sun shot (di awal dan di akhir pengukuran), dan apabila di awal line maka ada koordinat start line.


Pada prinsipnya penghitungan koordinat dalam pekerjaan seismik ini terdiri dari dua sistem penghitungan yaitu poligon terikat sempurna dan poligon tertutup. Tidak ada perbedaan yang cukup mendasar dari keduanya, hal yang membedakan adalah pada syarat salah penutupnya. Secara teknis line yang diukur harus terikat, apabila di ujung line tidak ada titik kontrol, maka dibuat akses terpendek ke line sebelahnya untuk membuat looping poligon. Hal ini dilakukan untuk melakukan mekanisme kontrol kualitas terhadap data hasil ukuran dengan toleransi yang sudah ditentukan. Sedangkan pada pengukuraan line yang berpotongan (crossing) titik-titik fix dari line-line yang berpotongan saling diikatkan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh koordinat titik-titik crossing melalui mekanisme hitung perataan. 


Perataan di atas dilakukan setelah semua hasil ukuran dari tiap seksi dicek dengan toleransi, baik itu melalui pengecekan poligon terikat sempurna maupun dengan poligon loop. 



DATA TEORITIS TOPOGRAFI

Data teoritis diperoleh dari hasil perhitungan yang nantinya akan digunakan sebagai acuan dalam pengukuran di lapangan. Data yang diperoleh adalah trace awal dan trace akhir yang diberikan oleh klien dengan koordinat yang telah ditentukan. Dari trace awal dan trace akhir tersebut kemudian dibuat trace-trace penghubung dengan menggunakan perhitungan berikut:

1. Menentukan besar sudut azimut (α) dari trace awal (A)


2. Kemudian lintasan tersebut dibagi dalam jarak d = 30 m (jarak antar trace), dan diperoleh nilai x dan y untuk setiap trace dalam lintasan.



Dimana:


A : Trace awal
B : Trace akhir
1 : Trace pertama dengan jarak 30 m dari A


Data teoritis dapat dihitung dengan menggunakan Microsoft Exel, kemudian hasilnya dimasukkan ke dalam program Autocad, dan setelah itu dapat ditampilkan sebagai peta navigasi. Data teoritis dimasukkan ke dalam memory card yang terpasang pada total station. Data teoritis tersebut kemudian digunakan sebagai acuan tim survei topografi dalam melakukan pengukuran.




RINTIS DAN BRIDGING 

Rintis dan bridging bertujuan untuk mempermudah akses di lintasan yang akan dilalui. Dilakukan sepanjang lintasan atau jalan akses menuju lintasan dengan lebar rintisan maksimum 2 m, dengan seminimal mungkin membuat kerusakan di sepanjang rintisan. Bridging dilakukan apabila lintasan melewati sungai, kanal, lembah, atau rawa.
Terdapat dua macam titian atau bridging, yaitu on the fly (melayang di atas tanah) dan on the ground (menapak pada tanah). Kualitas bridging harus baik karena sangat berpengaruh pada pengerjaan drilling dan recording.


Kreiteria-kriteria bridging, baik on the fly maupun on the ground, yang bagus adalah:


1. Pijakan diameter kayu 15 cm.
2. Tangan-tangan diameter kayu 8 cm.
3. Siku-siku (Skor) diameter kayu 10 cm.
4. Anti slip diameter kayu 5 cm
5. Siku-siku (skor) dipasang setiap 2m.
6. Anti Slip dipasang setiap 1m.
7. Semua terpasang kokoh atau kuat.


Untuk daerah yang menanjak akan dibuat tangga atau step. Kriteria-kriteria step yang abik adalah:


1. Pijakkan diameter kayu 15 cm.
2. Tangan-tangan diameter kayu 8 cm.
3. Siku-siku (skor) diameter kayu 10 cm.
4. Anak tangga diameter kayu 10 cm.
5. Jarak anak tangga 25 cm.
6. Semua terpasang kokoh atau kuat.


Adapun bentuk-bentuk lain dari bridging biasanya disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan, di antaranya Platform (untuk penyimpanan pipa drilling), jembatan (bridging yang melewati sungai), dan Jety (dermaga dari kayu-kayu untuk berlabuh, biasanya di tepi sungai).


Untuk mekanisme kontrol kualitas dari bridging, maka dilakukan pengecekan di lapangan oleh checker. Checker ini bertugas menginventarisir dan menilai eksistensi bridging di lapangan. Adapun kriteria dari penilaian ini berdasarkan ketetapan-ketetapan yang telah disepakati. 


Parameter-parameter penilaian ini terdiri dari:

1. Good; Suatu bridging dikatakan good apabila bridging yang ada di lapangan > 90% sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.


2. Fair; Suatu bridging dikatakan fair apabila bridging yang ada di lapangan cukup kuat menahan aktivitas yang akan terjadi, padahal dilihat dari ketentuan tidak seluruhnya terpenuhi seperti anti slip dan kayunya kurang dari ketentuan. Untuk nilai kuantitatif kondisi fair digolongkan antara 75-90 %.


3. Poor; Suatu bridging dikatakan poor apabila bridging yang ada di lapangan tidak mampu menahan aktivitas yang akan terjadi, dan sangat rentan untuk menimbulkan kecelakaan, seperti kayunya kurang dan tidak dipaku. Untuk nilai kuantitatif dari poor digolongkan < 75%.